“Kipli, aku mau ngetes Pak Haji lagi. Entar aku lulusin. Biar Pak Haji bisa kawin dengan ibuku. Aku kasihan dengan ibu. Aku rela tidak jadi rocker. Asal ibuku nggak kerja lagi.” Demikian kira-kira sepenggal dialog antara tokoh Saprol dengan Kipli dalam “Kiamat Sudah Dekat” yang ditayangkan SCTV setiap Jum’at malam. Sebuah sinetron yang sangat berkarakter kuat.
Apa yang menarik disana? Dialog di atas menggambarkan bagaimana seorang anak yang masih duduk di bangku SD mempunyai “pikiran” yang sangat dewasa. Sikap ini adalah cerminan kecerdasan interpersonal yang dimiliki Saprol. Ia begitu sedih melihat ibunya menjadi tukang cuci pakaian. Sementara cita-citanya sangat tinggi menjadi seorang penyanyi rock. Walau keinginan Saprol akhirnya kalah dengan “kemuliaan hati” seorang ibu.
Adegan lainnya menggambarkan bagaimana tokoh Kipli yang begitu kuat dan konsisten dengan pemikirannya. Kita lihat, bagaimana Kipli begitu lama menerima kehadiran ayahnya yang telah bertaubat, padahal hanya dia yang dimiliki karena ibunya pergi entah ke mana. Sikap Kipli begitu keras. Ia tetap teguh dengan pendiriannya; ayahnya telah mencampakkannya. Walau akhirnya Kipli menerima sesaat ayahnya berpamitan pergi ke Malaysia. Demikian cerminan kecerdasan intrapersonal yang kuat dimiliki Kipli.
Kecerdasan interpersonal dan intrapersonal yang dimiliki Saprol dan Kipli tidak banyak kita jumpai dengan anak kita, bisa jadi. Karena memang di sekolah, mereka tidak diajarkan secara proporsional. Dan ternyata kita tidak memberikan perhatian, karena terlena mengejar kecerdasan intelektual saja.
Kecerdasan interpersonal adalah kecerdasan sosial sedangkan intrapersonal smart adalah kecerdasan memahami diri sendiri. Kedua kecerdasan ini – menurut penelitian – sangat berpengaruh terhadap proses belajar anak. Anak akan belajar secara menyenangkan. Bagaimana tidak, temannya tidak ada yang “nakal” karena saling menebar empati dan simpati. Ketika marah ia dengan sigap mengekangnya.
Mari, kita perhatikan secara seksama kedua kecerdasan di atas pada diri anak kita. Bisa jadi, kita belum memahami anak secara mendalam. Anak adalah aneh dan unik. Kita harus belajar darinya.
Jumat, 19 Desember 2008
Ibu
ibu... siapa yang tiada mengenal jasamu
ibu... begitu tak terhitung pengorbananmu
ibu... nanda sangat takut
tiada mampu membalas
walau hanya secuil...
maafkan nanda, ibu...
sms ucapan
memberi ucapan entah melalui sms atau pun yang lainnya, adalah untuk menjalin tali silaturahim kepada orang lain. apalagi kalau bisa bersua. sungguh indah sekali. hari raya atau hari besar adalah momen yang tidak boleh dilalui begitu saja.
sms adalah teknologi yang bisa dipakai untuk tujuan mulia tersebut. di bawah ini adalah sms yang pernah saya pakai untuk mengucap salam, selamat, dan lainnya..
sms#1 Hari Guru
"memoar indah itu kan terus terekam,
alunan syahdu sang pembelajar sejati,
ikhlas mendidik generasi harapan;
tak kenal lelah...
terima kasihku padamu wahai pahlawan bangsa
guruku tercinta
tetaplah tegar dalam terpaan badai yang menghadang
tetaplah tersenyum wahai guruku
Allah kan membalas nanti
Happy teacher's day"
sms#2 Idul Adha
"Pun Ismail tlah menorehkan catatan kebanggaan anak manusia
totalitas kepasrahan diri atas keputusanNya
Semoga kita dapat mentauladaniNya spenuh hati.
Happy iedul adha 1429H."
sms#3 Idul Fitri
"Sungguh Allah sangat menyayangi hambaNya
Ia hantarkan kesedihan kpergian Ramadhan
dengan kebahagiaan yang teramat atas persuaan Syawal
tuk rengkuh kefitrahan diri
semua makhluk gemakan takbir, tahmid, dan tasbih
agungkan kebesaranNya
di seantero jagad raya
dengan keikhlasan diri..
taqabbalallahu minna waminkum
selamat hari raya idul fitri
mohon maaf lahir dan bathin
>> dari anakmu,
yang selalu saja berbuat salah"
"Jambu air dari kota wali
disantap bersama enak sekali
mhn maaf ya akhi ya ukhti
salahku padamu banyak sekali.
happy lebaran, friends...
May Allah blesses us..."
sms adalah teknologi yang bisa dipakai untuk tujuan mulia tersebut. di bawah ini adalah sms yang pernah saya pakai untuk mengucap salam, selamat, dan lainnya..
sms#1 Hari Guru
"memoar indah itu kan terus terekam,
alunan syahdu sang pembelajar sejati,
ikhlas mendidik generasi harapan;
tak kenal lelah...
terima kasihku padamu wahai pahlawan bangsa
guruku tercinta
tetaplah tegar dalam terpaan badai yang menghadang
tetaplah tersenyum wahai guruku
Allah kan membalas nanti
Happy teacher's day"
sms#2 Idul Adha
"Pun Ismail tlah menorehkan catatan kebanggaan anak manusia
totalitas kepasrahan diri atas keputusanNya
Semoga kita dapat mentauladaniNya spenuh hati.
Happy iedul adha 1429H."
sms#3 Idul Fitri
"Sungguh Allah sangat menyayangi hambaNya
Ia hantarkan kesedihan kpergian Ramadhan
dengan kebahagiaan yang teramat atas persuaan Syawal
tuk rengkuh kefitrahan diri
semua makhluk gemakan takbir, tahmid, dan tasbih
agungkan kebesaranNya
di seantero jagad raya
dengan keikhlasan diri..
taqabbalallahu minna waminkum
selamat hari raya idul fitri
mohon maaf lahir dan bathin
>> dari anakmu,
yang selalu saja berbuat salah"
"Jambu air dari kota wali
disantap bersama enak sekali
mhn maaf ya akhi ya ukhti
salahku padamu banyak sekali.
happy lebaran, friends...
May Allah blesses us..."
Gerakan Anti Busem
Pagi itu, ahmad melaju dengan cukup kencang menuju kampusnya yang jauh dari rumah. Di sepertiga terakhir perjalanan, ia hendak mendahului mobil yang kebetulan berada di depannya. Unpredictable, sebelum bisa mendahului ia mendapatkan hadiah dari driver mobil tersebut. Mungkin, dia tidak madu di “passed”, pikirnya. Hadiah apa yang ia terima? Bungkus snack yang barusan dinikmati yang dilempar begitu saja oleh si sopir mobil tadi. Dan ternyata mengenai kepala.. alhamdulillah, untung hanya bungkus snack, tidak batu atau duren, lirihnya.
Kejadian di atas, hanyalah sekian kecil contoh yang bisa jadi sering kita menjadi saksinya. Ya, membuang sampah seenaknya, sesukanya, sembarangan…. Atau malah kita sendiri? Yang ironis lagi, sudah terpasang dengan jelas tulisan “jangan buang sampah di sini”, “buanglah sampah di tempatnya”, “jagalah kebersihan”, atau yang lainnya. Seakan tidak melakukan hal salah, kita dengan sembari senyum meletakkan “sampah” semaunya…
Sepele... mungkin itulah yang terbesit dalam benak kita. Hanya sekedar kertas kecil, hanya sebungkus plastik kecil. Toh nanti ada yang membersihkan. Tidak!!! Ini bukanlah hal yang sepele. Bukanlah hal yang tidak perlu kita cermati dan berikan perhatian. Justru dari hal kecil seperti inilah, timbul masalah-masalah besar.
Banyak analisis dan kajian yang menyatakan bahwa salah satu alas an terjadinya banjir adalah saluran air yang tersumbah banyaknya sampah yang terbuang sembarangan. Tidak pada tempatnya. Sampah yang berserakan juga akan menyebabkan bau tidak sedap dan lingkungan sekitar tidaklah eyecatching. Bahkan lebih tegas lagi, membuang sampah adalah perbuatan orang yang tak berakal… lho….?
Kebiasaan membuang sampah sembarangan bukanlah sikap dan perilaku yang mencerminkan “keshalihan pribadi” apalagi “keshalihan sosial”. Wow, apaan tuh? Keshalihan pribadi dalam hal ini diartikan sebagai sikap dan perilaku yang mampu menjaga kebersihan diri. Tindakan di atas adalah cerminan sikap yang bisa jadi tidak menyukai kebersihan dan tidak mampu menjaga kebersihan.
Keshalihan sosial diartikan sebagai dasar seseorang bermanfaat bagi orang lain atau tidak. Dengan membuang sampah dengan seenaknya apakah berarti tidak bermanfaat bagi orang lain? Bukankah malah memberikan kesempatan bagi orang lain untuk berbuat baik? Membuang sampah sembarangan justru akan menciptakan masalah bagi orang lain. Bisa dibayangkan jika si Ahmad marah dan akhirnya terjadi perdebatan atau bahkan malah perkelahian.. walau hanya karena sampah… membuang sampah sembarangan bisa jadi akan membuat orang lain berdosa, karena akan marah, ngrasani, mengumpat, atau perbuatan kurang baik lainnya.
As conclusion, mari, bagi yang sependapat dengan saya, bergabunglah dengan Gerakan Anti Busem (Anti membuang sampah sembarangan)…
Kejadian di atas, hanyalah sekian kecil contoh yang bisa jadi sering kita menjadi saksinya. Ya, membuang sampah seenaknya, sesukanya, sembarangan…. Atau malah kita sendiri? Yang ironis lagi, sudah terpasang dengan jelas tulisan “jangan buang sampah di sini”, “buanglah sampah di tempatnya”, “jagalah kebersihan”, atau yang lainnya. Seakan tidak melakukan hal salah, kita dengan sembari senyum meletakkan “sampah” semaunya…
Sepele... mungkin itulah yang terbesit dalam benak kita. Hanya sekedar kertas kecil, hanya sebungkus plastik kecil. Toh nanti ada yang membersihkan. Tidak!!! Ini bukanlah hal yang sepele. Bukanlah hal yang tidak perlu kita cermati dan berikan perhatian. Justru dari hal kecil seperti inilah, timbul masalah-masalah besar.
Banyak analisis dan kajian yang menyatakan bahwa salah satu alas an terjadinya banjir adalah saluran air yang tersumbah banyaknya sampah yang terbuang sembarangan. Tidak pada tempatnya. Sampah yang berserakan juga akan menyebabkan bau tidak sedap dan lingkungan sekitar tidaklah eyecatching. Bahkan lebih tegas lagi, membuang sampah adalah perbuatan orang yang tak berakal… lho….?
Kebiasaan membuang sampah sembarangan bukanlah sikap dan perilaku yang mencerminkan “keshalihan pribadi” apalagi “keshalihan sosial”. Wow, apaan tuh? Keshalihan pribadi dalam hal ini diartikan sebagai sikap dan perilaku yang mampu menjaga kebersihan diri. Tindakan di atas adalah cerminan sikap yang bisa jadi tidak menyukai kebersihan dan tidak mampu menjaga kebersihan.
Keshalihan sosial diartikan sebagai dasar seseorang bermanfaat bagi orang lain atau tidak. Dengan membuang sampah dengan seenaknya apakah berarti tidak bermanfaat bagi orang lain? Bukankah malah memberikan kesempatan bagi orang lain untuk berbuat baik? Membuang sampah sembarangan justru akan menciptakan masalah bagi orang lain. Bisa dibayangkan jika si Ahmad marah dan akhirnya terjadi perdebatan atau bahkan malah perkelahian.. walau hanya karena sampah… membuang sampah sembarangan bisa jadi akan membuat orang lain berdosa, karena akan marah, ngrasani, mengumpat, atau perbuatan kurang baik lainnya.
As conclusion, mari, bagi yang sependapat dengan saya, bergabunglah dengan Gerakan Anti Busem (Anti membuang sampah sembarangan)…
Rabu, 08 Oktober 2008
Selasa, 07 Oktober 2008
Sungguh, kita tidak peduli!
Bangsa Indonesia, bangsa yang dikenal bangsa yang ramah dan penuh empati dan simpati. Bangsa yang menyukai “keguyuban”, kegotong royongan, toleran, saling menolong. Bangsa Indonesia, adalah bangsa yang suka menyapa, pada siapapun. Namun, karakter tersebut sangat melekat pada zaman dahulu. Kini, mulai berangsur-angsur mengalami pergeseran.
Bangsa Indonesia adalah bangsa egois dan semaunya sendiri. Bangsa yang hanya memikirkan dan mementingkan keinginan sendiri. Melupakan “adanya orang lain”. Sungguh, bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak mempunyai kepedulian. Tidak peduli pada yang lain, hanya peduli pada dirinya sendiri. Mau bukti?
Sungguh, kita tidak peduli! Coba kita lihat kenyataan di perempatan atau pertigaan jalan atau malah yang ada lampu lalu lintas. Kita seakan-akan harus segera meluncur dari pada orang lain. Tidak peduli ada yang akan menyeberang atau tidak, di perempatan atau di pertigaan kita memacu kendaraan dengan kecepatan yang tetap tinggi. Seyogyanya kita bisa sedikit menguranginya. Saat lampu hijau menyala, kita seolah-olah harus yang pertama menggencet kendaraan. Tak peduli sedang ramai atau tidak kendaraan di depan kita.
Sungguh, kita tidak peduli! Coba kita saksikan kenyataan yang sering kita lihat di lingkungan sekitar. Entah di kantor, di tempat umum, atau malah di rumah kita sendiri. Tatkala ada sebutir sampah di hadapan, seakan-akan kita tak melihatnya, tak mengetahuinya. Itu bukanlah tanggung jawab kita, kan sudah ada petugasnya. Kita biarkan sampah tersebut diam tak berpindah ke tempat sampah. Kita memang baik, memberikan kesempatan orang lain untuk mengambilnya (?????).
Sungguh, kita tidak peduli! Coba kita seksama mengamati lingkungan sekitar. Banyak di antara kita berlomba-lomba membangun “gedung rumah”. Seakan-akan rumah kita adalah yang paling harus baik dan megah. Tidak sedikitpun terlintas, bagaimana keadaan rumah tetangga sekitar kita. Toh, ini adalah uang yang sudah dengan susah payah kita kumpulkan. Mereka kan pemalas. Banyak kita jumpai gubug reot yang tak mau berdiri lagi menghiasi perkampungan rumah gagah.
Sungguh, kita tidak peduli! Banyak bukti yang menyatakan hal ini. Di atas, hanyalah sebagian kecil. Kita adalah bangsa Indonesia yang peduli. Bukan begitu?
Bangsa Indonesia adalah bangsa egois dan semaunya sendiri. Bangsa yang hanya memikirkan dan mementingkan keinginan sendiri. Melupakan “adanya orang lain”. Sungguh, bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak mempunyai kepedulian. Tidak peduli pada yang lain, hanya peduli pada dirinya sendiri. Mau bukti?
Sungguh, kita tidak peduli! Coba kita lihat kenyataan di perempatan atau pertigaan jalan atau malah yang ada lampu lalu lintas. Kita seakan-akan harus segera meluncur dari pada orang lain. Tidak peduli ada yang akan menyeberang atau tidak, di perempatan atau di pertigaan kita memacu kendaraan dengan kecepatan yang tetap tinggi. Seyogyanya kita bisa sedikit menguranginya. Saat lampu hijau menyala, kita seolah-olah harus yang pertama menggencet kendaraan. Tak peduli sedang ramai atau tidak kendaraan di depan kita.
Sungguh, kita tidak peduli! Coba kita saksikan kenyataan yang sering kita lihat di lingkungan sekitar. Entah di kantor, di tempat umum, atau malah di rumah kita sendiri. Tatkala ada sebutir sampah di hadapan, seakan-akan kita tak melihatnya, tak mengetahuinya. Itu bukanlah tanggung jawab kita, kan sudah ada petugasnya. Kita biarkan sampah tersebut diam tak berpindah ke tempat sampah. Kita memang baik, memberikan kesempatan orang lain untuk mengambilnya (?????).
Sungguh, kita tidak peduli! Coba kita seksama mengamati lingkungan sekitar. Banyak di antara kita berlomba-lomba membangun “gedung rumah”. Seakan-akan rumah kita adalah yang paling harus baik dan megah. Tidak sedikitpun terlintas, bagaimana keadaan rumah tetangga sekitar kita. Toh, ini adalah uang yang sudah dengan susah payah kita kumpulkan. Mereka kan pemalas. Banyak kita jumpai gubug reot yang tak mau berdiri lagi menghiasi perkampungan rumah gagah.
Sungguh, kita tidak peduli! Banyak bukti yang menyatakan hal ini. Di atas, hanyalah sebagian kecil. Kita adalah bangsa Indonesia yang peduli. Bukan begitu?
Selasa, 16 September 2008
Bait-bait dari Bapak
Nak,
Ceriamu membuat bapak kan terus merindu
Tuk terus bersua dan bersenda gurau
Gelak tawa penuh keriangan dalam episode belajar
Sungguh membuat hati ini bahagia
Nak,
Bapak masih ingat
Senandung kelas kita
“1C datang dengan wajah yang riang
1C datang semua jadi senang
Riang, senang, semua jadi senang”
Nak,
Seandainya bapak punya daya lebih
Seandainya bapak punya kekuatan
Seandainya bapak tak harus memilih
Kita bisa merengkuh asa bersama
Di sekolah penuh makna nan tercinta
Membuat bait-bait sejarah membanggakan
Nak,
Bapak harus memilih
Semoga kita kan tetap terjalin
Dalam ikatan hati-hati kecil
Walau tak lagi bertatap muka
Walau tak lagi belajar bersama
Walau tak lagi bercanda bersama
Nak,
Bapak harus memilih
Jalan ini…
Nak,
Selamat berjumpa lagi
Semoga engkau kan mendapatkan yang terbaik
Tidak bersama bapak
Bersama para pejuang pendidikan sejati
Tidak seperti bapak
Bersama keriangan, kebahagiaan, kemaknaan
Tuk khidmatkan diri pada Allah semata……….
Nak,
Maafkan bapakmu ini yang belum bisa memberikan
Apa saja yang ingin engkau rasakan
Apa saja yang ingin engkau tahu
AH-33, jelang ku berpisah dengan mereka
(puisiku kala meninggalkan sekolahku tercinta bersama kenangan tak terlupakan)
Ceriamu membuat bapak kan terus merindu
Tuk terus bersua dan bersenda gurau
Gelak tawa penuh keriangan dalam episode belajar
Sungguh membuat hati ini bahagia
Nak,
Bapak masih ingat
Senandung kelas kita
“1C datang dengan wajah yang riang
1C datang semua jadi senang
Riang, senang, semua jadi senang”
Nak,
Seandainya bapak punya daya lebih
Seandainya bapak punya kekuatan
Seandainya bapak tak harus memilih
Kita bisa merengkuh asa bersama
Di sekolah penuh makna nan tercinta
Membuat bait-bait sejarah membanggakan
Nak,
Bapak harus memilih
Semoga kita kan tetap terjalin
Dalam ikatan hati-hati kecil
Walau tak lagi bertatap muka
Walau tak lagi belajar bersama
Walau tak lagi bercanda bersama
Nak,
Bapak harus memilih
Jalan ini…
Nak,
Selamat berjumpa lagi
Semoga engkau kan mendapatkan yang terbaik
Tidak bersama bapak
Bersama para pejuang pendidikan sejati
Tidak seperti bapak
Bersama keriangan, kebahagiaan, kemaknaan
Tuk khidmatkan diri pada Allah semata……….
Nak,
Maafkan bapakmu ini yang belum bisa memberikan
Apa saja yang ingin engkau rasakan
Apa saja yang ingin engkau tahu
AH-33, jelang ku berpisah dengan mereka
(puisiku kala meninggalkan sekolahku tercinta bersama kenangan tak terlupakan)
Tragedi 15 September 2008
Tragedi kemanusiaan terjadi di medio Ramadhan tahun ini. Di belahan timur bumi Jawa. Tepatnya di kota Pasuruan Jawa Timur. 21 warga (semuanya adalah wanita) meninggal dunia dalam “jihad” menerima uang zakat dari pengusaha burung wallet. Ribuan warga mengantre dalam keadaan berdesak-desakan untuk mendapatkan uang sebesar Rp 30.000. 16 warga lainnya terluka. Mereka mengantre sejak pukul 06.00.
Kenyataan yang membuat hati kita kan teriris, sedih. Di tengah hikmatnya Ramadhan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Tentunya, kita tak bisa “menyalahkan” warga. Mereka sedang berjuang untuk mendapatkan uang guna menyambung hak hidupnya. Mereka rela datang di pagi hari, dari tempat yang tidak dekat, kemudian berdesak-desakan dalam kerumunan ribuan warga lainnya. Mereka sangat mengharapkan mendapatkan uang zakat tersebut. Cukup besar memang buat mereka. Di tengah himpitan kebutuhan ekonomi yang kian membengkak. Kalau kita lihat videonya, sungguh membuat hati kita kian trenyuh.
Pihak yang berwenang mengidentifikasi, bahwa penyebab insiden ini adalah warga kekurangan oksigen dan terinjak-injak oleh warga lainnya. Kemungkinan juga “kepanitiaan” tidak terlalu siap untuk mengantisipasi ribuan warga yang berdatangan. Pertolongan pertama pun, dianggap datang terlambat. Warga telah banyak yang jatuh, terinjak-injak, dan pingsan. Dan akhirnya, 21 warga meninggal dan 16 lainnya terluka. Dari korban meninggal, terdapat luka memar.
Kejadian di atas, seyogyanya tidak terjadi. Jikalau panitia dan segenap pihak yang terkait dapat dengan sigap mengkoordinir kegiatan. Toh kegiatan ini telah dilakukan sejak tahuan 1975an. Panitia sedianya dapat berkoordinasi dengan aparat terkait, karena akan melibatkan ribuan warga. Atau paling tidak, membuat skema pembagian uang zakat lebih sistematis.
Ya, mungkin panitia sudah melakukannya. Semua yang menentukan adalah Yang Di Atas. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kejadian yang sungguh memilukan ini. Semoga, tidak terjadi lagi. Di manapun dan kapanpun.
Kenyataan yang membuat hati kita kan teriris, sedih. Di tengah hikmatnya Ramadhan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Tentunya, kita tak bisa “menyalahkan” warga. Mereka sedang berjuang untuk mendapatkan uang guna menyambung hak hidupnya. Mereka rela datang di pagi hari, dari tempat yang tidak dekat, kemudian berdesak-desakan dalam kerumunan ribuan warga lainnya. Mereka sangat mengharapkan mendapatkan uang zakat tersebut. Cukup besar memang buat mereka. Di tengah himpitan kebutuhan ekonomi yang kian membengkak. Kalau kita lihat videonya, sungguh membuat hati kita kian trenyuh.
Pihak yang berwenang mengidentifikasi, bahwa penyebab insiden ini adalah warga kekurangan oksigen dan terinjak-injak oleh warga lainnya. Kemungkinan juga “kepanitiaan” tidak terlalu siap untuk mengantisipasi ribuan warga yang berdatangan. Pertolongan pertama pun, dianggap datang terlambat. Warga telah banyak yang jatuh, terinjak-injak, dan pingsan. Dan akhirnya, 21 warga meninggal dan 16 lainnya terluka. Dari korban meninggal, terdapat luka memar.
Kejadian di atas, seyogyanya tidak terjadi. Jikalau panitia dan segenap pihak yang terkait dapat dengan sigap mengkoordinir kegiatan. Toh kegiatan ini telah dilakukan sejak tahuan 1975an. Panitia sedianya dapat berkoordinasi dengan aparat terkait, karena akan melibatkan ribuan warga. Atau paling tidak, membuat skema pembagian uang zakat lebih sistematis.
Ya, mungkin panitia sudah melakukannya. Semua yang menentukan adalah Yang Di Atas. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kejadian yang sungguh memilukan ini. Semoga, tidak terjadi lagi. Di manapun dan kapanpun.
Penganiayaan Akademik
Istilah di atas, saya pinjam dari Fauzil Adhim dalam mengapresiasi dunia pendidikan kita. Fauzil berujar bahwa proses pembelajaran di sekolah kebanyakan adalah proses pembelajaran yang hanya memperhatikan kemampuan kognitif terendah sebagai pembebanan. Dengan harapan dapat mengejar prestasi optimal. Namun, haruskah dengan cara demikian? Lebih lanjut engutarakan bahwa mengejar anjing membangkitkan energi ketika nyaris berhasil. Tetapi dikejar anjing sangat menguras tenaga dan membunuh antusiasme, justru ketika berhasil. Sekolah harus berfikir serius bagaimana memacu prestasi siswa tanpa melakukan penganiayaan akademik.
Sebagai insan yang berkecimpung dalam dunia sekolah, saya terhenyak dengan tulisan di atas. Apakah selama ini saya mengajar dan mentransfer materi kepada anak didik merupakan bentuk penganiayaan akademik? Jika ya, sungguh kesalahan besar telah saya lakukan. Namun, apa hakikat pendidikan? Pendidikan bukankah sebagai proses transfering ilmu pengetahuan dari sumber belajar “guru” kepada anak didik? Sepertinya tidak! Ini bukan pemahaman yang tepat dengan term pendidikan.
Pendidikan adalah dunia yang ingin mencetak manusia seutuhnya. Menjadi manusia yang berkemampuan tidak hanya kognitif, melainkan lebih dari itu. Manusia harus mampu mengoptimalkan segala potensinya. Baik nalar maupun emosinya. Pendidikan “dalam hal ini sekolah”, tidak boleh mencetak manusia yang pandai atau pintar secara akademis namun, tidak seimbang dengan emosinya. Pendidikan tidak boleh mencetak manusia egois yang tak bisa bersikap sosial yang baik.
Cita-cita mulia di atas, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Perhatian dan kepedulian dari segenap stakeholders sangat dibutuhkan. Menyerahkan segalanya ke sekolah bukanlah pilihan terbaik. Sekolah juga memerlukan “gelitikan” dari lingkungan sekitar, tidak hanya dari orang tua baik langsung mapun melalui komite sekolah.
Pertanyaannnya, dimana posisi kita sekarang ini? Dimanapun posisi kita, alangkah bijaknya jika akan, terus dan terus memberikan perhatian lebih kita pada dunia pendidikan di sekitar kita. Semampu kita.
Sebagai insan yang berkecimpung dalam dunia sekolah, saya terhenyak dengan tulisan di atas. Apakah selama ini saya mengajar dan mentransfer materi kepada anak didik merupakan bentuk penganiayaan akademik? Jika ya, sungguh kesalahan besar telah saya lakukan. Namun, apa hakikat pendidikan? Pendidikan bukankah sebagai proses transfering ilmu pengetahuan dari sumber belajar “guru” kepada anak didik? Sepertinya tidak! Ini bukan pemahaman yang tepat dengan term pendidikan.
Pendidikan adalah dunia yang ingin mencetak manusia seutuhnya. Menjadi manusia yang berkemampuan tidak hanya kognitif, melainkan lebih dari itu. Manusia harus mampu mengoptimalkan segala potensinya. Baik nalar maupun emosinya. Pendidikan “dalam hal ini sekolah”, tidak boleh mencetak manusia yang pandai atau pintar secara akademis namun, tidak seimbang dengan emosinya. Pendidikan tidak boleh mencetak manusia egois yang tak bisa bersikap sosial yang baik.
Cita-cita mulia di atas, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Perhatian dan kepedulian dari segenap stakeholders sangat dibutuhkan. Menyerahkan segalanya ke sekolah bukanlah pilihan terbaik. Sekolah juga memerlukan “gelitikan” dari lingkungan sekitar, tidak hanya dari orang tua baik langsung mapun melalui komite sekolah.
Pertanyaannnya, dimana posisi kita sekarang ini? Dimanapun posisi kita, alangkah bijaknya jika akan, terus dan terus memberikan perhatian lebih kita pada dunia pendidikan di sekitar kita. Semampu kita.
Senin, 15 September 2008
Ironi di Sekitar Kita
Seringkali kita menyatakan permintaan atau pernyataan berikut ini kepada anak-anak didik kita. “Anak-anak, sampahnya dibuang di tempatnya ya.” Atau “kebersihan penting lho bagi kita”. Namun, apakah mereka telah dapat memahami tentang kebersihan, membuang sampah, dan turunannya? Sehingga mereka melakukannya “membuang sampah di tempatnya” dengan penuh kesadaran?
Kita tak bisa bohong, memang kebanyakan anak didik kita belum bisa melakukannya dengan baik. Setelah makan, mereka tidak membuang bungkusnya ke tempat sampah. Namun, kadang dilempar, kadang dibuat mainan, atau diletakkan di sembarang tempat. Ketika melihat sampah berserakan atau di depannya, apa respon dari anak didik kita? Sepertinya lebih banyak cuek. Yah, biarin aja nanti kan ada pak bon yang membersihkan. Atau nunggu diperintah pak guru ah. Mungkin begitulah yang ada dalam pikiran mereka. Namun, bisa jadi mereka belum faham sehingga belum tahu apa tindakan yang harus benar.
Manakah yang lebih pas dengan anak didik kita? Mari, kita telisik bersama. Kita merasa bahwa sudah sering kita memberikan nasehat kepada mereka. Malah kadang dimarahi dan dihukum. Bukan begitu? Namun, kok mereka tetap saja belum faham ya. Mereka tetap saja enggan membuang sampah di tempatnya. Mereka tidak memberi respon positif ketika melihat sampah di depannya. Kenapa bisa begitu ya?
One point! Itulah yang ingin saya ajak untuk ditelisik. Ada pepatah buah durian jatuh tidak jauh dari pohonnya. Maksudnya? Kita sebagai guru sangat mengharapkan anak didiknya mempunyai perilaku mampu menjaga kebersihan, kerapian dan keindahan atau yang lebih mudah dikenal dengan sebutan K3. Kemudian, kita mengambil langkah diantaranya meminta, merayu, mengajak atau malah bahkan memerintah dan mengancam kepada anak didik kita. Untuk apa? Untuk bisa membuang sampah di tempatnya. Untuk menjaga kerapian dan keindahan. Untuk ini untuk itu. Tapi, apakah kita sebagai “yang mengajari” sudah melakukannya?
Terkadang kita cuek saja ketika melihat ruang kantor/guru yang “acak-acakan”, kertas-kertas terlihat berserakan, atau ruang kelas yang tampak tak sedap dipandang mata. Pun kalau membuang sampah, ya tidak pada tempatnya. Mungkin, kita hanya menyuruh anak didik kita yang membersihkannya. Atau meminta “mas bon”. Kita hanya sekedar menyuruh dan melihat dengan santai. Seolah-olah pihak yang wajib menjaga kebersihan adalah siswa atau penjaga kebersihan. Tak terbesit sedikitpun dalam diri kita, bagaimana seandainya kita yang melakukannya. Memang, tidak semua begitu…
Yah wajar saja, ketika anak didik kita tak jauh dari apa yang kita contohkan. Mereka enggan membuang sampah pada tempatnya. Mereka tidak begitu memahami manfaat atau hakekat menjaga kebersihan. Mereka sekedar takut ketika gurunya menyuruh atau malah memarahi. Tanpa kesadaran yang mencukupi. Anak didik sangat “dipengaruhi” oleh sikap dan perilaku gurunya. Bagi mereka, guru adalah segalanya. Guru digugu dan ditiru. Begitulah, guru mempunyai daya hipnotis tinggi terhadap anak didiknya.
Ironi bukan? Kebersihan dan kerapian serta keindahan, marilah kita bisa jalankan bersama. Ini tanggung jawab kita bersama. Bukankah kita akan senang dan nyaman ketika melihat lingkungan kita bersih dan asri? Mari, kita mulai dari yang terkecil. Di dalam kamar, rumah atau lingkungan sekitar kita. Dan mulai sekarang!
Kita tak bisa bohong, memang kebanyakan anak didik kita belum bisa melakukannya dengan baik. Setelah makan, mereka tidak membuang bungkusnya ke tempat sampah. Namun, kadang dilempar, kadang dibuat mainan, atau diletakkan di sembarang tempat. Ketika melihat sampah berserakan atau di depannya, apa respon dari anak didik kita? Sepertinya lebih banyak cuek. Yah, biarin aja nanti kan ada pak bon yang membersihkan. Atau nunggu diperintah pak guru ah. Mungkin begitulah yang ada dalam pikiran mereka. Namun, bisa jadi mereka belum faham sehingga belum tahu apa tindakan yang harus benar.
Manakah yang lebih pas dengan anak didik kita? Mari, kita telisik bersama. Kita merasa bahwa sudah sering kita memberikan nasehat kepada mereka. Malah kadang dimarahi dan dihukum. Bukan begitu? Namun, kok mereka tetap saja belum faham ya. Mereka tetap saja enggan membuang sampah di tempatnya. Mereka tidak memberi respon positif ketika melihat sampah di depannya. Kenapa bisa begitu ya?
One point! Itulah yang ingin saya ajak untuk ditelisik. Ada pepatah buah durian jatuh tidak jauh dari pohonnya. Maksudnya? Kita sebagai guru sangat mengharapkan anak didiknya mempunyai perilaku mampu menjaga kebersihan, kerapian dan keindahan atau yang lebih mudah dikenal dengan sebutan K3. Kemudian, kita mengambil langkah diantaranya meminta, merayu, mengajak atau malah bahkan memerintah dan mengancam kepada anak didik kita. Untuk apa? Untuk bisa membuang sampah di tempatnya. Untuk menjaga kerapian dan keindahan. Untuk ini untuk itu. Tapi, apakah kita sebagai “yang mengajari” sudah melakukannya?
Terkadang kita cuek saja ketika melihat ruang kantor/guru yang “acak-acakan”, kertas-kertas terlihat berserakan, atau ruang kelas yang tampak tak sedap dipandang mata. Pun kalau membuang sampah, ya tidak pada tempatnya. Mungkin, kita hanya menyuruh anak didik kita yang membersihkannya. Atau meminta “mas bon”. Kita hanya sekedar menyuruh dan melihat dengan santai. Seolah-olah pihak yang wajib menjaga kebersihan adalah siswa atau penjaga kebersihan. Tak terbesit sedikitpun dalam diri kita, bagaimana seandainya kita yang melakukannya. Memang, tidak semua begitu…
Yah wajar saja, ketika anak didik kita tak jauh dari apa yang kita contohkan. Mereka enggan membuang sampah pada tempatnya. Mereka tidak begitu memahami manfaat atau hakekat menjaga kebersihan. Mereka sekedar takut ketika gurunya menyuruh atau malah memarahi. Tanpa kesadaran yang mencukupi. Anak didik sangat “dipengaruhi” oleh sikap dan perilaku gurunya. Bagi mereka, guru adalah segalanya. Guru digugu dan ditiru. Begitulah, guru mempunyai daya hipnotis tinggi terhadap anak didiknya.
Ironi bukan? Kebersihan dan kerapian serta keindahan, marilah kita bisa jalankan bersama. Ini tanggung jawab kita bersama. Bukankah kita akan senang dan nyaman ketika melihat lingkungan kita bersih dan asri? Mari, kita mulai dari yang terkecil. Di dalam kamar, rumah atau lingkungan sekitar kita. Dan mulai sekarang!
Masa Depan Bangsa?
Akhirnya, aku lewati terowongan bawah jalan tol di dekat stadion yang cukup kenamaan. Capek sih, tapi tidak mengapalah. Nikmati saja hidup ini dengan ikhlas. Bukan begitu? Tiba-tiba aku terhenyak dari perjalanan pikiranku dari tempat kerja. Maklum, sok mikir sih. Dalam mengendarai sepeda kesayanganku, diri ini mengajak otak tuk memikirkan sesuatu. Ya.. yang bisa bermanfaat gitu.
Baru saja mata ini melihat pemandangan yang kian membuat diri ini menangis dalam kecemasan dan pengharapan. Memang sih, tidak terlalu aneh dalam kenyataan kehidupan sekarang ini. Hal ini mungkin malah dianggap hal yang lumrah. Namun, tetap saja bagiku adalah kenyataan yang sungguh menyesakkan hati dan jiwa. Hati ini tidak bisa menerima kenyataan itu. Dan berharap tidak menyaksikannya.
Kala itu, baru saja melintas beberapa motor yang dikendarai anak kecil. Aku yakin, mereka masih pada jenjang sekolah dasar. Kalau pemandangan ini kan wajar. Ya, ini memang wajar. Banyak anak kecil yang sudah bisa naik motor. Namun, dengan melintas dengan kecepatan yang cukup, mereka menikmati sesuatu yang selama ini aku benci. Dengan gaya “orang yang sudah dewasa”, mereka menghisap benda yang mengandung zat nikotin dan zat adiktif. Ya, betul sekali. Mereka merokok.
Merokok? Apa yang salah. Apa yang nggak wajar? Ya mungkin fenomena ini telah menggejala. Dimana saja. Tidak di kota dan tidak juga di desa. Anak-anak seumur sekolah dasar sudah berani mulai berhubungan dengan benda “terlaknat” itu. Yang aku membuat sedih adalah bahwa hari ini adalah peringatan hari anak nasional. Sungguh, mereka harusnya bisa menikmati kegiatan yang lebih positif. Kegiatan yang lebih mengarahkan dirinya menggapai cita di masa yang akan datang. Baru saja terlintas dalam benakku, apa yang harus aku berikan kepada mereka, anak-anak negeri pengemban amanah di masa depan. Yang mampu menorehkan catatan kebanggan bagi bangsanya.
Namun, pemandangan tersebut membuat aku berpikir ulang. Bisakah mereka kita harapkan? Di masa kecilnya saja sudah begitu. Pemandangan di atas, bukanlah satu-satunya. Saya yakin, fenomena ini sudah menggejala. Dan tidak hanya merokok. Tapi perbuatan lainnya yang sungguh tidak boleh mereka lakukan.
Sungguh, aku tidak bisa membayangkan. Bagaimana masa depan bangsa nanti? Wallahu a’lam bish showab.
Baru saja mata ini melihat pemandangan yang kian membuat diri ini menangis dalam kecemasan dan pengharapan. Memang sih, tidak terlalu aneh dalam kenyataan kehidupan sekarang ini. Hal ini mungkin malah dianggap hal yang lumrah. Namun, tetap saja bagiku adalah kenyataan yang sungguh menyesakkan hati dan jiwa. Hati ini tidak bisa menerima kenyataan itu. Dan berharap tidak menyaksikannya.
Kala itu, baru saja melintas beberapa motor yang dikendarai anak kecil. Aku yakin, mereka masih pada jenjang sekolah dasar. Kalau pemandangan ini kan wajar. Ya, ini memang wajar. Banyak anak kecil yang sudah bisa naik motor. Namun, dengan melintas dengan kecepatan yang cukup, mereka menikmati sesuatu yang selama ini aku benci. Dengan gaya “orang yang sudah dewasa”, mereka menghisap benda yang mengandung zat nikotin dan zat adiktif. Ya, betul sekali. Mereka merokok.
Merokok? Apa yang salah. Apa yang nggak wajar? Ya mungkin fenomena ini telah menggejala. Dimana saja. Tidak di kota dan tidak juga di desa. Anak-anak seumur sekolah dasar sudah berani mulai berhubungan dengan benda “terlaknat” itu. Yang aku membuat sedih adalah bahwa hari ini adalah peringatan hari anak nasional. Sungguh, mereka harusnya bisa menikmati kegiatan yang lebih positif. Kegiatan yang lebih mengarahkan dirinya menggapai cita di masa yang akan datang. Baru saja terlintas dalam benakku, apa yang harus aku berikan kepada mereka, anak-anak negeri pengemban amanah di masa depan. Yang mampu menorehkan catatan kebanggan bagi bangsanya.
Namun, pemandangan tersebut membuat aku berpikir ulang. Bisakah mereka kita harapkan? Di masa kecilnya saja sudah begitu. Pemandangan di atas, bukanlah satu-satunya. Saya yakin, fenomena ini sudah menggejala. Dan tidak hanya merokok. Tapi perbuatan lainnya yang sungguh tidak boleh mereka lakukan.
Sungguh, aku tidak bisa membayangkan. Bagaimana masa depan bangsa nanti? Wallahu a’lam bish showab.
Sabtu, 06 September 2008
Silaturahim (bagian akhir)
Tulisan pertama telah menceritakan kita bagaimana keindahan dari silaturahim. Silaturahim disini akan dipersempit menjadi etika bertamu, bagaimana kita menghadiri undangan dan bagaimana kita berada di ruang tamu saudara kita. Dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Fadhli Bahri dengan judul Ensiklopedi Muslim, ustadz Abu Bakr Jabir al Jazairi mengemukakan etika bertamu sebagai berikut;
Hak-hak Ukhuwah
• Membantu dengan dana.
• Masing-masing dari dua orang yang bersaudara harus membantu saduaranya dalam memnuhi kebutuhannya, mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri, memeriksa kondisi saudaranya sebagaimana ia memeriksa kondisi dirinya.
• Menjaga lisan dengan tidak membeberkan aib saudaranya baik sepengetahuan maupun tanpa sepengetahuan, tidak membongkar seluruh rahasianya, dan tidak berusaha mengetahui rahasia-rahasia diri saudaranya.
• Memberi sesuatu yang dicintai saudaranya dari lisannya dengan memanggilnya dengan nama yang paling disukai, menyebutkan kebaikannya tanpa sepengetahuannya atau di depannya.
• Memaafkan kesalahannya, tidak mengambil pusing dengan kekeliruannya, menutup aibnya.
• Memenuhi hak ukhuwah dengan menguatkannya dan mempertahankan perjanjiannya, karena memutus ukhuwah itu membatalkan ukhuwah.
• Tidak menyuruh saudaranya dengan sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan dan tidak ia senangi.
• Mendoakan saudaranya, anak-anaknya, dan apa saja yang terkait dengannya sebagaimana ia senang mendoakan dirinya, anak kandungnya dan apa saja yang terkait dengannya.
Etika Mengundang Orang untuk Bertamu
• Mengundang orang-orang bertakwa bukannya orang fasik, dan bukan pula orang-orang berdosa.
• Tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja tanpa melibatkan orang-orang miskin.
• Dalam mengundang tamu, orang muslim tidak bermaksud sombong namun bermaksud mengamalkan sunnah Rasulullah SAW dan “Bapak Tamu”, Nabi Ibrahim AS serta nabi-nabi lainnya.
• Tidak boleh mengundang orang-orang yang mengalami kesulitan untuk bisa memenuhi undangannya, atau orang tersebut mengganggu sebagaian undangan.
• Ia mengambil makanan yang jatuh ketika ia makan.
• Membersihkan sisa-sisa makanan di gigi-giginya dan berkumur untuk membersihkan mulutnya.
• Memuji Allah setelah makan dan minum.
Etika Memenuhi Undangan
• Tamu yang diundang harus memenuhi undangan dan tidak terlambat memenuhinya kecuali karena udzur.
• Tidak membeda-bedakan antara undangan orang miskin dan undangan orang kaya.
• Tidak membedakan undangan jauh dengan undangan dekat, mendahulukan undangan pertama yang diterima.
• Tidak boleh absen menghadiri undangan karena ia berpuasa. Jika tuan rumah senang jika ia makan, maka ia membatalkan puasanya atau menolaknya dengan baik.
• Dengan memenuhi undangan, seorang muslim harus berniat memuliakan saudaranya agar ia diberi pahala karenanya.
Etika Menghadiri Undangan
• Tidak berlama-lama di rumah pengundang, karena hal ini membuat mereka kalut, dan tidak buru-buru datang ke rumah pengundang sebelum mereka mengadakan persiapan untuknya, sebab hal tersebut mengganggu pengundang.
• Tawadlu’ dalam rumah pengundang, tidak boleh menonjolkan dirinya di pertemuan.
• Pengundang harus bersegera menyajikan hidangan.
• Tuan rumah tidak boleh memberesi makanan sebelum tangan tamu diangkat darinya dan sebelum semua tamu selesai makan.
• Tuan rumah harus menghidangkan makanan secukupnya.
• Jika tamu singgah di rumah seseorang, ia tidak boleh berada di rumahnya lebih dari tiga hari, kecuali jika tuan rumah memintanya.
• Tuan rumah mengajak tamuny jalan-jalan ke luar rumah.
• Jika tamu pergi dari rumah yang disinggahinya, ia harus keluar dengan lapang dada, kendati misalnya dapat perlakuan buruk.
• Hendaklah seorang muslim mempunyai tiga kamar tidur, satu untuk dirinya sendiri, satu untuk keluarganya, dan satu lagi untuk tamu.
Demikian, islam melalui al Quran dan al Hadits mengatur tentang interaksi antar ummatnya. Ukhuwah islamiyah adalah landasan bagi muslim dalam berhubungan dengan muslim lainnya. Mereka adalah bersaudara. Wallahu a’lam bish showab
Hak-hak Ukhuwah
• Membantu dengan dana.
• Masing-masing dari dua orang yang bersaudara harus membantu saduaranya dalam memnuhi kebutuhannya, mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri, memeriksa kondisi saudaranya sebagaimana ia memeriksa kondisi dirinya.
• Menjaga lisan dengan tidak membeberkan aib saudaranya baik sepengetahuan maupun tanpa sepengetahuan, tidak membongkar seluruh rahasianya, dan tidak berusaha mengetahui rahasia-rahasia diri saudaranya.
• Memberi sesuatu yang dicintai saudaranya dari lisannya dengan memanggilnya dengan nama yang paling disukai, menyebutkan kebaikannya tanpa sepengetahuannya atau di depannya.
• Memaafkan kesalahannya, tidak mengambil pusing dengan kekeliruannya, menutup aibnya.
• Memenuhi hak ukhuwah dengan menguatkannya dan mempertahankan perjanjiannya, karena memutus ukhuwah itu membatalkan ukhuwah.
• Tidak menyuruh saudaranya dengan sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan dan tidak ia senangi.
• Mendoakan saudaranya, anak-anaknya, dan apa saja yang terkait dengannya sebagaimana ia senang mendoakan dirinya, anak kandungnya dan apa saja yang terkait dengannya.
Etika Mengundang Orang untuk Bertamu
• Mengundang orang-orang bertakwa bukannya orang fasik, dan bukan pula orang-orang berdosa.
• Tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja tanpa melibatkan orang-orang miskin.
• Dalam mengundang tamu, orang muslim tidak bermaksud sombong namun bermaksud mengamalkan sunnah Rasulullah SAW dan “Bapak Tamu”, Nabi Ibrahim AS serta nabi-nabi lainnya.
• Tidak boleh mengundang orang-orang yang mengalami kesulitan untuk bisa memenuhi undangannya, atau orang tersebut mengganggu sebagaian undangan.
• Ia mengambil makanan yang jatuh ketika ia makan.
• Membersihkan sisa-sisa makanan di gigi-giginya dan berkumur untuk membersihkan mulutnya.
• Memuji Allah setelah makan dan minum.
Etika Memenuhi Undangan
• Tamu yang diundang harus memenuhi undangan dan tidak terlambat memenuhinya kecuali karena udzur.
• Tidak membeda-bedakan antara undangan orang miskin dan undangan orang kaya.
• Tidak membedakan undangan jauh dengan undangan dekat, mendahulukan undangan pertama yang diterima.
• Tidak boleh absen menghadiri undangan karena ia berpuasa. Jika tuan rumah senang jika ia makan, maka ia membatalkan puasanya atau menolaknya dengan baik.
• Dengan memenuhi undangan, seorang muslim harus berniat memuliakan saudaranya agar ia diberi pahala karenanya.
Etika Menghadiri Undangan
• Tidak berlama-lama di rumah pengundang, karena hal ini membuat mereka kalut, dan tidak buru-buru datang ke rumah pengundang sebelum mereka mengadakan persiapan untuknya, sebab hal tersebut mengganggu pengundang.
• Tawadlu’ dalam rumah pengundang, tidak boleh menonjolkan dirinya di pertemuan.
• Pengundang harus bersegera menyajikan hidangan.
• Tuan rumah tidak boleh memberesi makanan sebelum tangan tamu diangkat darinya dan sebelum semua tamu selesai makan.
• Tuan rumah harus menghidangkan makanan secukupnya.
• Jika tamu singgah di rumah seseorang, ia tidak boleh berada di rumahnya lebih dari tiga hari, kecuali jika tuan rumah memintanya.
• Tuan rumah mengajak tamuny jalan-jalan ke luar rumah.
• Jika tamu pergi dari rumah yang disinggahinya, ia harus keluar dengan lapang dada, kendati misalnya dapat perlakuan buruk.
• Hendaklah seorang muslim mempunyai tiga kamar tidur, satu untuk dirinya sendiri, satu untuk keluarganya, dan satu lagi untuk tamu.
Demikian, islam melalui al Quran dan al Hadits mengatur tentang interaksi antar ummatnya. Ukhuwah islamiyah adalah landasan bagi muslim dalam berhubungan dengan muslim lainnya. Mereka adalah bersaudara. Wallahu a’lam bish showab
Jumat, 05 September 2008
sensasi ramadhan
ramadhan, memang bulan yang sungguh luar biasa. bagi ummat islam dan makhluk seluruh alam….
bagaimana tidak? di bulan inilah, ummat islam berlomba-lomba menampakkan aura kebaikannya, dengan kentara…
di bulan inilah, tingkat religiusitas ummat islam begitu menanjak drastis. bisa kita lihat, kebiasaan di bulan suci penuh berkah nan ampunan ini. jamaah shalat di masjid, begitu bertambah shafnya. walau akhirnya juga surut di jelang akhir ramadhan. tangan begitu mudahnya untuk berada di atas. memberi yang bermanfaat bagi yang lain. baik berupa uang atau makanan berbuka puasa atau yang lainnya.
di bulan ramadhan ini juga, semuanya mengalami perubhan signifikan ke arah lebih baik. begitulah,…. karena memang ini lah yang diinginkan oleh Allah swt. supaya menjadi orang yang bertakwa. gelar yang akan disandang ketika ummat lulus menghadapi segala bentuk ujian di bulan ramadhan.
bagaimana sensasi ramadhan lainnya? tentu anda sudah mengetahuinya. bukan begitu?
walaupun demikian, tentunya ada yang membuat kita harus berpikir ulang…. kenapa hanya terjadi di bulan ramadhan saja. setelah ramadhan meninggalkan kita, seakan-akan kita kembali seperti orang biasa. religiusitas di bulan suci tak berbekas sama sekali. sya yakin sih, semoga saja hanya sebagian saja. tentunya, yang lainnya mengalami keajegan keimanan…. termasuk kita… amin.
semoga Allah swt menerima segala amalan yang kita lakukan di bulan ramadhan kali ini… amin ya rabbal ‘alamin.
bagaimana tidak? di bulan inilah, ummat islam berlomba-lomba menampakkan aura kebaikannya, dengan kentara…
di bulan inilah, tingkat religiusitas ummat islam begitu menanjak drastis. bisa kita lihat, kebiasaan di bulan suci penuh berkah nan ampunan ini. jamaah shalat di masjid, begitu bertambah shafnya. walau akhirnya juga surut di jelang akhir ramadhan. tangan begitu mudahnya untuk berada di atas. memberi yang bermanfaat bagi yang lain. baik berupa uang atau makanan berbuka puasa atau yang lainnya.
di bulan ramadhan ini juga, semuanya mengalami perubhan signifikan ke arah lebih baik. begitulah,…. karena memang ini lah yang diinginkan oleh Allah swt. supaya menjadi orang yang bertakwa. gelar yang akan disandang ketika ummat lulus menghadapi segala bentuk ujian di bulan ramadhan.
bagaimana sensasi ramadhan lainnya? tentu anda sudah mengetahuinya. bukan begitu?
walaupun demikian, tentunya ada yang membuat kita harus berpikir ulang…. kenapa hanya terjadi di bulan ramadhan saja. setelah ramadhan meninggalkan kita, seakan-akan kita kembali seperti orang biasa. religiusitas di bulan suci tak berbekas sama sekali. sya yakin sih, semoga saja hanya sebagian saja. tentunya, yang lainnya mengalami keajegan keimanan…. termasuk kita… amin.
semoga Allah swt menerima segala amalan yang kita lakukan di bulan ramadhan kali ini… amin ya rabbal ‘alamin.
Senin, 01 September 2008
ramadhan lagi…?
kini, bentar lagi…
kita kan berjumpa dengan bulan Ramadhan
ummat islam dimanapun berada
mempersiapkan diri untk menyambutnya
ramadhan lagi…
kita diberi kesempatan lagi
untuk memperbaiki diri
menuju pertobatan hakiki
menjadi hambaNya yang baik
ramadhan lagi…
kita diberi kesempatan lagi
untuk terus ikhlas beramal
berlipat pahala kan didapat
ramadhan lagi…
bagaimana denganku?
tentu…
aku sangat bahagia...
kita kan berjumpa dengan bulan Ramadhan
ummat islam dimanapun berada
mempersiapkan diri untk menyambutnya
ramadhan lagi…
kita diberi kesempatan lagi
untuk memperbaiki diri
menuju pertobatan hakiki
menjadi hambaNya yang baik
ramadhan lagi…
kita diberi kesempatan lagi
untuk terus ikhlas beramal
berlipat pahala kan didapat
ramadhan lagi…
bagaimana denganku?
tentu…
aku sangat bahagia...
Rabu, 20 Agustus 2008
Silaturahim (bagian 1)
Peduli tetangga adalah ciri muslim sejati. Begitulah kira-kira yang tertulis pada sebuah panduk yang terlentang melintasi atas jalan yang baru saja aku lewati. Pesan yang cukup dalam namun terkadang “sedikit terlupakan”. Karena kita terlalu asyik memikirkan diri kita sendiri. “Wong kita aja banyak masalah, ngapain mikirin orang”. Mungkin itu yang ada dalam pikiran kita. Sehingga, tetangga yang begitu dekat dengan rumah kita seakan-akan orang yang tidak pernah kita kenal. Mereka adalah orang asing. Nanti kalau kenal, malah kita bisa repot. Dimintai bantuan lah, dimintai apalah, atau yang lainnya. Pokoknya bisa membuat repot.
Kembali ke awal tulisan ini, “peduli tetangga”. Saat ini, masih bulan ramadhan. Dan ternyata bahwa bulan ramadhan juga disebut sebagai syahrul ukhuwah atau bulan persaudaraan. Disamping sebutan lainnya yang sudah sangat kita kenal (atau malah telah kita fahami) seperti syahrul qur’an atau syahrul jihad. Allah swt memang Maha Pencipta. Dia berikan bulan ramadhan kepada ummat sebagai peringatan dan pembelajaran. Ya, tentang “peduli tetangga”. Sebagai salah satu wujud ukhuwah.
Tentunya, kita sebagai muslim yang baik hati dan tidak sombong, haruslah memanfaatkan momentum berharga ini. Tuk aktualisasikan diri bahwa kita adalah muslim yang mempunyai sikap ukhuwah yang tergolong tinggi. Bukan begitu? Paling tidak, kita lebih bisa memberikan perhatian kepada tetangga dekat kita, yang setiap hari bersua dan bersosialisasi. Salah satunya adalah dengan silaturahim. Silaturahim ini tentunya turunannya akan banyak sekali. Tidak sekedar datang ke rumah atau sekedar menyapa. Jikalau bisa lebih dari itu, kenapa tidak kita lakukan?
Silaturahim adalah kata yang indah. Dan di dalam Al quran juga banyak disebut. Silaturahim tidak hanya kita lakukan pada saat lebaran saja. Tidak hanya kita lakukan saat tetangga atau saudara kita sedang sakit atau sedang mempunyai “gawe”. Silaturahim tidak hanya dilakukan kepada mereka yang kita kenal. Siapapun akan senang jika kita bisa silaturahimi. Saya yakin itu. Tentunya dengan cara dan maksud yang baik.
Silaturahim dalam Al Quran dan al Hadits
Al quran sebagai dasar utama ummat Islam dalam bertindak tentunya mengatur tentang bagaimana seorang muslim berinteraksi dengan muslim lainnya. Demikian dengan al Hadits (as Sunnah). Interaksi antar muslim adalah berdasar rasa ukhuwah (persaudaraan). Ukhuwah ini terlahir harus karena cinta kepada Allah dan RasulNya. Orang muslim karena imannya tidak mencintai ketika ia harus mencintai melainkan karena Allah Ta’ala, dan tidak membenci ketika ia harus membenci melainkan karena Allah Ta’ala dan RasulNya, karena ia tidak mencintai kecuali apa yang dicintai Allah Ta’ala dan RasulNya, dan ia tidak membenci kecuali apa yang dibenci Allah Ta’ala dan RasulNya.
Ayat yang menjelaskan ukhuwah adalah dijelaskan pada Quran Surat Al Hujurat ayat ke 13, yang artinya; sesungguhnya sesama muslim adalah bersaudara. Begitulah Al Quran mengatur interaksi antar muslim. Dimana, setiap muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara. Sehingga, hubungan tersebut kian mendekatkan antar muslim, tanpa dibatasi letak, ruang dan waktu. Muslim Palestina adalah saudara muslim dunia lainnya. Begitu juga, muslim Indonesia adalah saudara muslim dunia lainnya. Mereka selaiknya saling tolong dan membantu. Ayat lainnya adalah “sesama muslim adalah laiknya sebuah bangunan, saling menguatkan antar elemen.” (Ash Shaaf:2-3)
Sementara dalam al Hadits, banyak diterangkan perihal ukhuwah, silaturahim. Salah satu diantaranya adalah “Sesungguhnya Allah berfirman; kecintaanKu berhak dimiliki orang-orang yang saling berkunjung karenaKu. KecintaanKu berhak dimiliki orang-orang yang saling menonolong karenaKu (HR. Ahmad dan Al Hakim). Hadits lainnya berbunyi; “Orang muslim tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, salah satunya berpaling dan orang satunya juga berpaling. Orang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam” (HR Muttafaq Alaih).
Begitulah indahnya silaturahim. Sungguh akan begitu damai nan indah lingkungan kita, jikalau dilandasi dengan ukhuwah. Di antara kita, bisa saling silaturahim untuk kiat memperat hubungan dan mengakrabkan diri. Di bulan puasa ini, kita bisa saling tukar makanan ta’jil, bisa berbagi kolak pisang, bisa membagi kue, atau makanan besar dan lain sebagainya. Sungguh bermakna ramadhan kita, jikalau kita bisa menghiasinya dengan amalan-amalan yang diridhaiNya. Jadilah kita, muslim yang sangat peduli dengan tetangga. Tentunya tidak melupakan saudara. Wallahu a’lam bish showab.
Kembali ke awal tulisan ini, “peduli tetangga”. Saat ini, masih bulan ramadhan. Dan ternyata bahwa bulan ramadhan juga disebut sebagai syahrul ukhuwah atau bulan persaudaraan. Disamping sebutan lainnya yang sudah sangat kita kenal (atau malah telah kita fahami) seperti syahrul qur’an atau syahrul jihad. Allah swt memang Maha Pencipta. Dia berikan bulan ramadhan kepada ummat sebagai peringatan dan pembelajaran. Ya, tentang “peduli tetangga”. Sebagai salah satu wujud ukhuwah.
Tentunya, kita sebagai muslim yang baik hati dan tidak sombong, haruslah memanfaatkan momentum berharga ini. Tuk aktualisasikan diri bahwa kita adalah muslim yang mempunyai sikap ukhuwah yang tergolong tinggi. Bukan begitu? Paling tidak, kita lebih bisa memberikan perhatian kepada tetangga dekat kita, yang setiap hari bersua dan bersosialisasi. Salah satunya adalah dengan silaturahim. Silaturahim ini tentunya turunannya akan banyak sekali. Tidak sekedar datang ke rumah atau sekedar menyapa. Jikalau bisa lebih dari itu, kenapa tidak kita lakukan?
Silaturahim adalah kata yang indah. Dan di dalam Al quran juga banyak disebut. Silaturahim tidak hanya kita lakukan pada saat lebaran saja. Tidak hanya kita lakukan saat tetangga atau saudara kita sedang sakit atau sedang mempunyai “gawe”. Silaturahim tidak hanya dilakukan kepada mereka yang kita kenal. Siapapun akan senang jika kita bisa silaturahimi. Saya yakin itu. Tentunya dengan cara dan maksud yang baik.
Silaturahim dalam Al Quran dan al Hadits
Al quran sebagai dasar utama ummat Islam dalam bertindak tentunya mengatur tentang bagaimana seorang muslim berinteraksi dengan muslim lainnya. Demikian dengan al Hadits (as Sunnah). Interaksi antar muslim adalah berdasar rasa ukhuwah (persaudaraan). Ukhuwah ini terlahir harus karena cinta kepada Allah dan RasulNya. Orang muslim karena imannya tidak mencintai ketika ia harus mencintai melainkan karena Allah Ta’ala, dan tidak membenci ketika ia harus membenci melainkan karena Allah Ta’ala dan RasulNya, karena ia tidak mencintai kecuali apa yang dicintai Allah Ta’ala dan RasulNya, dan ia tidak membenci kecuali apa yang dibenci Allah Ta’ala dan RasulNya.
Ayat yang menjelaskan ukhuwah adalah dijelaskan pada Quran Surat Al Hujurat ayat ke 13, yang artinya; sesungguhnya sesama muslim adalah bersaudara. Begitulah Al Quran mengatur interaksi antar muslim. Dimana, setiap muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara. Sehingga, hubungan tersebut kian mendekatkan antar muslim, tanpa dibatasi letak, ruang dan waktu. Muslim Palestina adalah saudara muslim dunia lainnya. Begitu juga, muslim Indonesia adalah saudara muslim dunia lainnya. Mereka selaiknya saling tolong dan membantu. Ayat lainnya adalah “sesama muslim adalah laiknya sebuah bangunan, saling menguatkan antar elemen.” (Ash Shaaf:2-3)
Sementara dalam al Hadits, banyak diterangkan perihal ukhuwah, silaturahim. Salah satu diantaranya adalah “Sesungguhnya Allah berfirman; kecintaanKu berhak dimiliki orang-orang yang saling berkunjung karenaKu. KecintaanKu berhak dimiliki orang-orang yang saling menonolong karenaKu (HR. Ahmad dan Al Hakim). Hadits lainnya berbunyi; “Orang muslim tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, salah satunya berpaling dan orang satunya juga berpaling. Orang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam” (HR Muttafaq Alaih).
Begitulah indahnya silaturahim. Sungguh akan begitu damai nan indah lingkungan kita, jikalau dilandasi dengan ukhuwah. Di antara kita, bisa saling silaturahim untuk kiat memperat hubungan dan mengakrabkan diri. Di bulan puasa ini, kita bisa saling tukar makanan ta’jil, bisa berbagi kolak pisang, bisa membagi kue, atau makanan besar dan lain sebagainya. Sungguh bermakna ramadhan kita, jikalau kita bisa menghiasinya dengan amalan-amalan yang diridhaiNya. Jadilah kita, muslim yang sangat peduli dengan tetangga. Tentunya tidak melupakan saudara. Wallahu a’lam bish showab.
Langganan:
Postingan (Atom)