Jumat, 30 Januari 2009

Hari ini 30 Januari




















Hari ini adalah 30 Januari
Begitu banyak ni’mat yang telah kurasa
Sungguh, ku belum mampu mensyukurinya
Semoga ku kan segera…

Hari ini adalah 30 Januari
Ku ingin menuliskan rasa
Beberapa waktu lampau
Inilah sepenggal goresanku yang sangat panjang
Yang mampu aku tulis
Dengan sepenuh hati
Hormatku padanya

“…..

Pak, aku iri pada bapak
Kepada siapapun engkau ramah
Tiada tergambar kesombongan di wajah bersihmu
Wujud ukhuwah dalam tali silaturahim
Cinta sesama dan saling kasih
Tak sedikit yang salut dan segan
Kharisma dari pancaran kebenaranmu
Santun, redup dan tawakal
Tiada lupa ku kan pesan mulia itu

…..

Pak, sungguh aku iri pada bapak
Terpaan pengacau pancaran kebenaran
Engkau hadapi dengan sabar
Dengan melantun asmaNya
Takdhim memohon; penuh harap dan cemas
Atas pertolongaNya yang datang tanpa diduga
Tuk buktikan diri “aku masih seperti dulu”

…..”

Semoga semangat di atas kan terus berkobar
Tuk raih asa dan cinta bersam sang belahan jiwa
Dalam keridhaan Yang Maha Kuasa……

Ketika Ia Menangis dalam Kesendirian

Jumat lagi. Mendung lagi. Dan catatan harian ini tertulis lagi, dalam rasa hitam kopi tanpa gula, pahit.

14.30
Jelang ashar di sekolah, meski sore belum jatuh benar tapi gelapnya sudah seperti jam 5. Dan aku melihatnya. Sendirian, menekuk lututnya, sambil mengais-ngais kerikil. Matanya ‘mbrambang’, merah. Gila! Mata kecil itu, seperti sumur yang amat dalam. Menyimpan sesuatu. Full of pain. Sudah pasti, ia sedang terluka.

“Kenapa?” tanyaku. Tapi seperti yang kuduga. Dia cuma menggeleng, tanpa melihat siapa yang menyapa. Ia asyik mengusik kerikilnya, atau mungkin berusaha menyembunyikan mata merahnya.

Aku berlalu, sambil mengusap-usap kepalanya. Aku sedang terburu-buru. Masih ada waktu 30 menit sebelum adzan ashar. Sore ini aku harus mendownload sesuatu dari email, karena nanti malam aku harus menyetorkannya. Pekerjaan yang telah jatuh tempo. Karena sekolah sedang offline, maka warnet menjadi tujuan.

**

15.00
Adzan berkumandang. Bergegas kembali ke sekolah.
Dan, Ya Allah… anak itu masih ditempatnya. Setengah jam ini berarti ia tak juga beranjak dari tempatnya. Kepalanya rebah seakan lehernya tak punya daya untuk menyangga. Dagunya ia tumpukan diatas tangannya. Bahunya berguncang-guncang. Air mata menetesi pipinya. Bajunya, merah lusuh, dan basah. Anak ini sudah menangis dari tadi. Tapi tanpa suara. Cuma itu, dengan bahu yang terguncang-guncang dan mata yang tergenang bersama tatapan sayu. Sedetik, aku turut berdesir. Mendung sore ini, ditambah angin dingin dan suasana yang menggelap, membuatku begitu bisa merasakan Ardi yang menangis sendiri.

(cerita lengkap silahkan klik disini).
hasil posting dari blog sekolah favoritku. mengingatku akan hari bahagia ini.