Sepotong kisah dari sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) 9 akan menjadi awal tulisan ini. Persoalan sederhana sepertinya. Iya, kita sering diece (diejek maksudnya) kan? Atau malah sebaliknya? Apa hubungannya dengan akrab????
Empat sekawan di PPT 9 (saya agak lupa nama2nya), adalah para petani miskin (maaf) yang hidupnya pas-pasan atau malah sering kekurangan. Dan akhirnya Om Jalal adalah solusinya. (tahu kan, siapa om Jalal? Orang terkaya di kampung. Namun tidak pelit). Tempat meminjam uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan empat sekawan tersebut sering ditagih dan diingatkan oleh Om Jalal. Dan tiap ketemu, om Jalal selalu mengece (mengejek maksudnya) keempat bapak-bapak tadi.
Bagaimana perasaannya jika diece? Mau gimana lagi. Ya pasrah saja kan. Om Jalal suka minjemin duit terus. Kalau nggak sama Om Jalal tidak tahu sama siapa lagi.
Hmmmm.. salah tingkah jadinya. Namun, kesabaran seseorang ada batasnya. Akhirnya, mereka berkeluh kesah di kebun tempat mereka bekerja. Dan mereka pun marah sama perlakuan om Jalal. Ingin menjaga harga diri. Maka diece terus. Uppsss, diejek maksudnya. Tapi, dipikir-pikir, om Jalal benar juga. Bahwa mereka itu miskin, tak mampu dan lain sebagainya.
Singkat cerita, salah satu dari mereka akan menemui om Jalal karena sudah tak tahan diejek dan ditagih terus.
Dan dialog pun terjadi, antara om Jalal dan salah satu dari keempatnya (om Jueng kayaknya). Dan akhirnya memberanikan diri, bahwa mereka ingin dihargai. Om Jalal pun tidak kalah galaknya. Jika tak ingin diejek, maka harus kerja keras dan tak miskin lagi. Dan argumentasinya, bahwa om Jalal melakukan itu karena sudah merasa "akrab" dengan keempat bapak-bapak tadi. Sudah dianggap saudara begitu. Wujudnya adalah ejekan, namun sebenarnya hanya sentilan dan memang om Jalal wataknya demikian. Orangnya baik tapi rasional. Di akhir dialog, malah tidak jadi bayar utang (karena memang belum punya uang) dan malah dikasih uang lagi.
Kejadian yang mirip terjadi di kisah berikutnya. Slah satu bapak tadi ingin marah-marah tapi kalah argumen dengan om Jalal. Dan bapak tadi menerima rasionalitas om Jalal. Sekali lagi, om Jalal melakukannya karena sudah merasa akrab. Menganggap sudah dekat.
Hehe... panjang juga pengantarnya ya... nah, yang mau dibahas adalah ecean (ejekan) dan rasa akrab seseorang.
Kita mungkin sering jadi bahan ejekan temen-temen.
Bahasa sekarang mungkin "bully" kali ya. Atau bisa jadi kita yang suka ngece. Kita sangat tidak suka diejek, bisa jadi. Atau malah, kita sudah pasrah jika diejek. Perasaan kita sungguh akan berbeda dalam hal ini.
Saya, termasuk yang suka diece oleh "teman" atau "senior". Apakah saya merasa "suka"? Atau malah marah?
Akan berbeda memang jika melihat siapa yang ngece. Namun, secara umum, sya termasuk yang enjoy jika diece (yang jelas tidak berlebihan dan kebablasan). Siapapun yang ngece. Malah, saya akan sangat suka diece oleh orang tertentu. Dalam hal ini sya seide dengan om Jalal. Sudah merasa dekat dan akrab, itulah alasannya. Artinya, saya tidak akan marah karena tahu ia mengece bukan untuk menyakiti. Hanya menambah keakraban.
Namun, yang perlu kita garis bawahi, apakah harus dengan mengece untuk menambah keakraban diantara teman atau sahabat? Tidak harus memang. Ejek mengejek hanyalah bumbu penyedap. Jika sudah saling mengejek (sekali lagi, dalam koridor terkendali dan tidak berlebihan) menandakan dua sahabat (atau lebih) memang sudah tidak ada sekat lagi. Tidak ada jarak lagi. Entah slah satunya sangat kaya, satunya sangat miskin. Antara guru dengan murid, antara dosen dan mahasiswa. Atau sesama kolega dalam bekerja.
Jika tidak ada "ece-ecean", menurut hemat saya, hubungan itu hanya formalitas, kaku, dan tidak menarik lagi. Apakah nabi kita memberikan contoh tentang hal ini? Dicari ya.. (baru akan saya tanyakan sama ahlinya. Takut salah).
Terakhir, semoga kita bisa menahan diri kalau sudah "ece-ecean". Tidak boleh kebablasan, apalagi sampai menyinggung orang tua diantara kita. Habis ece-ecean ya sudah. Berlalu, tanpa bekas! Wallahu a'lam..
Empat sekawan di PPT 9 (saya agak lupa nama2nya), adalah para petani miskin (maaf) yang hidupnya pas-pasan atau malah sering kekurangan. Dan akhirnya Om Jalal adalah solusinya. (tahu kan, siapa om Jalal? Orang terkaya di kampung. Namun tidak pelit). Tempat meminjam uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan empat sekawan tersebut sering ditagih dan diingatkan oleh Om Jalal. Dan tiap ketemu, om Jalal selalu mengece (mengejek maksudnya) keempat bapak-bapak tadi.
Bagaimana perasaannya jika diece? Mau gimana lagi. Ya pasrah saja kan. Om Jalal suka minjemin duit terus. Kalau nggak sama Om Jalal tidak tahu sama siapa lagi.
Hmmmm.. salah tingkah jadinya. Namun, kesabaran seseorang ada batasnya. Akhirnya, mereka berkeluh kesah di kebun tempat mereka bekerja. Dan mereka pun marah sama perlakuan om Jalal. Ingin menjaga harga diri. Maka diece terus. Uppsss, diejek maksudnya. Tapi, dipikir-pikir, om Jalal benar juga. Bahwa mereka itu miskin, tak mampu dan lain sebagainya.
Singkat cerita, salah satu dari mereka akan menemui om Jalal karena sudah tak tahan diejek dan ditagih terus.
Dan dialog pun terjadi, antara om Jalal dan salah satu dari keempatnya (om Jueng kayaknya). Dan akhirnya memberanikan diri, bahwa mereka ingin dihargai. Om Jalal pun tidak kalah galaknya. Jika tak ingin diejek, maka harus kerja keras dan tak miskin lagi. Dan argumentasinya, bahwa om Jalal melakukan itu karena sudah merasa "akrab" dengan keempat bapak-bapak tadi. Sudah dianggap saudara begitu. Wujudnya adalah ejekan, namun sebenarnya hanya sentilan dan memang om Jalal wataknya demikian. Orangnya baik tapi rasional. Di akhir dialog, malah tidak jadi bayar utang (karena memang belum punya uang) dan malah dikasih uang lagi.
Kejadian yang mirip terjadi di kisah berikutnya. Slah satu bapak tadi ingin marah-marah tapi kalah argumen dengan om Jalal. Dan bapak tadi menerima rasionalitas om Jalal. Sekali lagi, om Jalal melakukannya karena sudah merasa akrab. Menganggap sudah dekat.
Hehe... panjang juga pengantarnya ya... nah, yang mau dibahas adalah ecean (ejekan) dan rasa akrab seseorang.
Kita mungkin sering jadi bahan ejekan temen-temen.
Bahasa sekarang mungkin "bully" kali ya. Atau bisa jadi kita yang suka ngece. Kita sangat tidak suka diejek, bisa jadi. Atau malah, kita sudah pasrah jika diejek. Perasaan kita sungguh akan berbeda dalam hal ini.
Saya, termasuk yang suka diece oleh "teman" atau "senior". Apakah saya merasa "suka"? Atau malah marah?
Akan berbeda memang jika melihat siapa yang ngece. Namun, secara umum, sya termasuk yang enjoy jika diece (yang jelas tidak berlebihan dan kebablasan). Siapapun yang ngece. Malah, saya akan sangat suka diece oleh orang tertentu. Dalam hal ini sya seide dengan om Jalal. Sudah merasa dekat dan akrab, itulah alasannya. Artinya, saya tidak akan marah karena tahu ia mengece bukan untuk menyakiti. Hanya menambah keakraban.
Namun, yang perlu kita garis bawahi, apakah harus dengan mengece untuk menambah keakraban diantara teman atau sahabat? Tidak harus memang. Ejek mengejek hanyalah bumbu penyedap. Jika sudah saling mengejek (sekali lagi, dalam koridor terkendali dan tidak berlebihan) menandakan dua sahabat (atau lebih) memang sudah tidak ada sekat lagi. Tidak ada jarak lagi. Entah slah satunya sangat kaya, satunya sangat miskin. Antara guru dengan murid, antara dosen dan mahasiswa. Atau sesama kolega dalam bekerja.
Jika tidak ada "ece-ecean", menurut hemat saya, hubungan itu hanya formalitas, kaku, dan tidak menarik lagi. Apakah nabi kita memberikan contoh tentang hal ini? Dicari ya.. (baru akan saya tanyakan sama ahlinya. Takut salah).
Terakhir, semoga kita bisa menahan diri kalau sudah "ece-ecean". Tidak boleh kebablasan, apalagi sampai menyinggung orang tua diantara kita. Habis ece-ecean ya sudah. Berlalu, tanpa bekas! Wallahu a'lam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar