Senin, 16 Februari 2009

The Best Choice


Perbincangan ringan namun serius terangkai dalam forum kecil itu. Salah seorang berujar, “wah, repot ya sekarang. Masyarakat di kampungku sungguh pragmatis sekali. Aku masih saja bingung dengan pilihan mereka.”
Yang lain menyambung, “tidak di tempatmu saja kok. Di tempatku juga.”
“ya, memang itu sedang dialami masyarakat kita. Katanya sich itu efek dari kebebasan untuk berpendapat. Masyarakat sekarang kan kian berani mengungkapkan sesuatu. Apalagi musim begini. Pas, mumpung lagi ada.”
“walaupun begitu, kita harus optimis. Kita mempunyai kewajiban kepada masyarakat untuk memberikan pendidikan politik yang benar.”
“setuju”, jawab forum serentak.

Di atas, adalah obrolan menyikapi fenomena yang terjadi di masyarakat dalam menghadapi serangan darat para calon anggota dewan, wakil rakyat. Sekarang, waktu mereka untuk kian gencar merebut simpati masyarakat dengan berbagai cara. Entah memberi sembako, memberikan janji, atau bahkan memberikan fresh money. Sehingga, masyarakat akan “mencontrengnya” pada 9 April nanti.

Dan masyarakat memanfaatkannya. Masyarakat lebih memilih slogan “buktikan dulu janjimu, kan kupilih dirimu”. Adakah slogan lain yang lebih pas, mungkin? Tidak salah mungkin, ketika masyarakat bersikap seperti itu. Kalau ditilik ke belakang, mungkin masyarakat tidak mau terkecoh untuk kesekian kali. Wakil rakyat yang ia pilih di pemilu sebelumnya, hanya mengumbar janji. Ketika sudah duduk di kursi empuk gedung dewan, para wakil rakyat kerap melupakan konstituen. Sungguh, ini bukanlah rahasia lagi. So, masyarakat ingin sebaliknya sekarang. Para calon wakil rakyat harus membuktikan terlebih dahulu bahwa mereka ada pengaruh positif terhadap masyarakat.

Pemberian paving, semen, pasir, atau material bangunan lainnya, adalah yang sering diminta masyarakat sekarang. Artinya, pemberian ini langsung dirasakan oleh masyarakat setempat. Kalau hanya sembako sepertinya tidak menjadi pilihan utama. Wong, jalannya rusak, bangunan belum jadi, yang diminta ya material tersebut. Begitu, jawaban masyarakat.

Sekali lagi, salahkan sikap masyarakat dalam hal ini? Mungkin, ada yang membenarkan. Dan mungkin juga, banyak yang kurang sependapat. Namun demikian, ada logika berpikir yang mungkin perlu dicermati.

Bahwa untuk menjadi anggotan dewan kota atau kabupaten, para caleg harus mengumpulkan sekian ribu suara. Dan tentunya suara itu tersebar dalam beberapa wilayah dalam satu dapil. Belum tentu tercluster dalam satu wilayah. Tentunya, para caleg akan merogoh kocek yang cukup besar. Bayangkan, jika satu RT meminta kepada caleg sebesar dua juta saja, berapa banyak yang harus dikeluarkan oleh caleg untuk merebut simpati rakyat di 100 RT? Hanya 200 juta saja. Ya, itu baru bantuan material. Para caleg juga harus membuat atribut lain seperti kaos, spanduk, baliho, stiker, kalender, dan lain sebagainya. Tentu saja, masih kalah jauh dengan biaya transfernya Cristiano Ronaldo kalau jadi diboyong Real Madrid dari Manchester United.

Secara hitungan sistematis, bisa jadi caleg akan menghitung lebih rinci. Gaji anggota dewan sangatlah besar. Biaya kampanye yang ia keluarkan bisa jadi akan “impas” dengan 1 tahun gajinya. So, jika dihitung oleh caleg, mungkin gak pa-palah mengeluarkan biaya yang besar sekarang. Toh, nanti akan mbalik. Wow, logika bisnisman kan? Jika berbisnis, tentu akan wajar jika harus menanggung kerugian di awal bisnisnya. Tentu, akan meraup keuntungan di periode berikutnya. Sekali lagi, para caleg akan berpikir, kan sama-sama untung. Saya jadi caleg, masyarakat menerima paving. Klop kan.

Sepertinya tidak ada yang janggal dengan mindset di atas. Simbiosis mutualisme kayaknya, seperti pelajaran biologi SMP. Dalam kamus pendidikan politik, frame berpikir di atas, masih terasa jauh dari yang namanya berpolitik indah. Katanya sich. Artinya, fenomena di atas, sungguh masih jauh dari nilai-nilai berpolitik yang benar. Wow. Kedua belah pihak masih terpasung pada pragmatisme belaka, tak menampilkan idealisme.

Sedianya, masyarakat mampu bersikap politik yang “the best choice” gitu. Apa maksudnya? Masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya, bukanlah karena telah diberi sesuatu oleh caleg, melainkan karena atas dasar pertimbangan matang setelah mengenal dan memahami personal caleg. Masyarakat bersimpati pada caleg dan akhirnya memberikan kepercayaannya kepada caleg tersebut.

Caleg juga demikian. Sedianya mampu bersikap yang “the best choice”. Maksudnya, caleg dalam meraih simpati masyarakat harus juga mempertimbangkan “pendidikan politik”. Artinya lagi, caleg harus mampu mengajak masyarakat untuk dapat berpolitik dengan baik. Dalam meraih simpati masyarakat, caleg harus mampu menampilkan pribadi yang memang layak untuk diberi amanah dari masyarakat. Ya, dari segi intelektualitas, integritas, kapabilitas, dan kepribadian lainnya. Artinya, masyarakat tidak akan salah jika memberikan kepercayaan kepadanya. The right choice on the right man gitu.

Ya, mungkin begitulah pendapat yang bukan “the best choice”. Apapun pilihannya, kita harus bersikap “the best choice”. Wallahu a’lam bish showab.

Tidak ada komentar: